Baru
sekarang visi itu menjadi kenyataan. Tidak saja ibukota propinsi, tapi juga
kota-kota lain di pedalaman sudah tersentuh oleh penerbangan tak langsung dari
Jakarta. Ini berkat upaya yang dirintis Angkatan Udara Republik Indonesia
(AURI) pada rnasa perjuangan yang kini buahnya dapat dinikmati bangsa
Indonesia, Perintisan penerbangan sipil Nasional, sejarah mencatat bukan
terjadi di Indonesia, justru di luar negeri. Negara dimaksud adalah Burma,
sekarang bernama Myanmar. Hari itu, 26 Januari 1949, pesawat Indonesian
Airways, maskapai penerbangan Indonesia pertama, lepas landas dari Calcutta
(India) menuju Rangoon (Burma) untuk melayani penerbangan carterdan regulerdi
Myanmar. Modal utama perintisan berupa pesawat DC-3 versi militer C-47 Dakota,
hadiah rakyat Aceh kepada pemerintah. Oleh Direktorat Penerbangan Sipil AURI
diberi nomor registrasi RI-001 dan diberi nama "Seulawah" yang
berarti "gunung emas". Penamaan ini sebagai penghargaan kepada rakyat
Aceh yang menghimpun dana untuk membeli pesawat. Dengan telah memiliki sebuah
pesawat angkut RI-001 Seulawah, AURI mulai membuka jaringan perhubungan udara
antara Yogyakarta-Sumatera hingga ke luar negeri. Sebelum Pangkalan Udara
Maguwo (sekarang Adi Sucipto) diserang pesawat dan pasukan payung kemudian
diduduki Belanda 19 Desember 1948, RI-001 sudah mendapat izin resmi mendarat di
sejumlah negara sahabat. Yaitu Filipina dengan restriksi, Burma, India dan
Pakistan. Bahkan mendapat izin mendarat pula di Afghanistan, negara-negara Arab
dan Australia dengan restriksi, namun belum sempat digunakan. Pesawat Dakota
yang dibeli seharga 138.000 Strait dollar (mata uang Malaya) waktu itu, yang
saksi pembeliannya berlangsung di Rangoon oleh Opsir Udara III Wiweko Soepono
(kemudian menjadi Direktur Utama Garuda Indonesian Airways di pengujung dekade
1960). la diutus KASAU Suryadarma untuk itu. Pesawat tiba di Tanah air akhir
Oktober 1948 dan ditempatkan diPangkalan Udara Maguwo, Yogyakarta.
Tercatat
pada awal penerbangannya di Indonesia 16 November 1948, RI-001 diterbangkan ke
Sumatera hingga ke Rangoon kemudian kembali ke Maguwo. Dua hari kemudian, 18
November hingga 26 November, dengan RI-001, Wakil Presiden Drs. Mohammad Hatta
mengadakan perjalanan keliling Sumatera. Rute yang ditempuh dari Yogyakarta,
Jambi, Payakumbuh, Kutaraja dan kembali ke Maguwo lewat Payakumbuh. Waktu itu
Wakil Presiden hanya sampai Payakumbuh saja, sedang RI-001 melanjutkan
penerbangan ke Kutaraja Aceh untuk diperlihatkan langsung kepada masyarakat
Aceh sebagai penyumbang. Pesawat disambut meriah oleh masyarakat. Kemudian
sejumlah pemuka masyarakat Aceh joy flight dengan "Seulawah". Dalam
log book-nya tercatat pada 29 November pesawat digunakan untuk pemotretan udara
Gunung Merapi yang tengah menunjukkan tanda-tanda akan memuntahkan laharnya.
Tanggal 1 Desember, "Seulawah" lepas landas dari Maguwo menuju
Pangkalan Udara Piobang Payakumbuh, membawa sejumlah pegawai pemerintah dan
anggota AURI untuk memperkuat pemerintahan dan perjuangan di Sumatera.
Menjelang
100 jam terbangnya, RI-001 pada 4 Desember dari Payakumbuh melanjutkan
penerbangan ke Kutaraja. Setelah menambah 1 awak, pesawat meneruskan
penerbangan pada 6 Desember ke Calcutta, India untuk menjalani perawatan
periodik 100 jam dan memasang long range tank. Sewaktu menjalani perawatan
periodik inilah, terjadi serangan Belanda di Maguwo. Dakota RI-001 mau tidak
mau tidak dapat kembali ke Tanah Air dan tertahan di Calcutta. Biaya bagi
awaknya terus bergulir disamping kewajiban melunasi pembayaran pembelian
pesawat C-47 "Seulawah." Pesawat baru dibayar separuh sebab dana yang
diterima Wiweko Soepono dari Moetalib, pengusaha merangkap perantara pencairan
dana wesel Strait dollar 120.000 dari Residen Aceh, hanya separuh. Yaitu 60.000
Strait dollar digunakan untuk membayar kapal. Dua alternatif muncul di benak
Wiweko untuk melunasi pembelian pesawat. Pertama mendirikan perusahaan
penerbangan atau menjual kembali pesawat. Hasil penjualan dipakai untuk
melunasi pembayaran C-47. Siasanya digunakan untuk membiayai pendidikan calon
penerbang AURI di India. Akhirnya pelunasan pembelian pesawat dapat
diselesaikan pada 21 Januari 1949. Kekurangannya sementara ditutup oleh
Perwakilan Rl di India, namun bersifat pinjaman dan harus dikembalikan.
Untuk
mengembalikan dana pinjaman tidak ada alternatif lain kecuali mendirikan
perusahaan penerbangan. Wiweko menyampaikan gagasannya kepada Opsir Udara III
Soedaryono yang memimpin 20 kadet calon penerbang AURI di India dan Opsir Udara
III Soetardjo Sigit sebagai kopilot pesawat RI-001. Ide ini mendapat dukungan
dari Kepala Perwakilan Rl di India, Dr. Soedarsono. Sejak itulah dirintis
pendirian maskapai penerbangan nasional RI di India. Sayang, permohonan tidak
dapat dipenuhi Pemerintah India, karena disana telah berdiri dan beroperasi
perusahaan penerbangan Indian National Airways. Kesempatan itu datang dari
Burma setelah rencana tersebut disampaikan kepada Maryunani, Kepala Perwakilan
RI di Burma. Pemerintah Burma yang sedang butuh jasa angkutan udara untuk
menghadapi pemberontakan dalam negeri, memberikan izin pendirian dan
pengoperasian penerbangan. Izin keluar bertepatan Dakota RI-001 selesai
menjalani perawatan di Calcutta pada 20 Januari 1949. Enam hari kemudian, 26
Januari, dengan badan pesawat bertuliskan Indonesian Airways, RI-001
"Seulawah" diawaki J.H. Maupin (Captain Pilot), Kopilot Soetardjo
Sigit dan Soedaryono, Radio Operator Soemarno dan Engineer Ceasselberry dan
Wiweko sebagai General Manager, lepas landas dari Calcutta menuju Rangoon,
Burma.
Pada
hari itu Indonesian Airways membuka lembar pertama sejarah penerbangan sipil
Indonesia, meski di luar negeri. Di Burma kala itu beroperasi Union of Burma
Airways, Phlippines Airways dan Siamese Airways. Tetapi tidak berani mengambil
risiko melakukan penerbangan untuk kepentingan militer Burma. Hanya Indonesian
Airways secara spontan berani menerima tugas tersebut, meski harus menghadapi
risiko penerbangan sangat berbahaya dan bahkan bisa fatal. Soetardjo Sigit dan
Soedaryono masing-masing merangkap Manajer Operasi dan Manajer Administrasi,
sedang Soemarno Kepala Komunikasi dalam susunan manajemen Indonesian Airways.
Kantor sementara di 30 Thamwe Road, merupakan rumah tinggal Maryunani sekaligus
bagi Wiweko, Soedaryono, Soetadjo Sigit dan Soemarno. Dari hasil penerbangannya
Indonesian Airways berhasil melunasi pinjaman Perwakilan RI di India untuk
pembelian pesawat RI-001. "tidak saja ini. Pendapatannya bisa disisihkan
untuk membantu dana bagi Perwakilan RI di India dan Burma, membiayai 20 kadet
AURI yang sedang belajar terbang di India dan dua anggota AURI yang bertugas
belajar di FEATI Filipina, antara lain Nurtanio.
Armadanya
kemudian berkembang menjadi tiga Dakota. RI-007 (disumbangkan kepada pemerintah
Burma sebagai tanda terima kasih pemerintah dan rakyat Indonesia dan RI-001
indonesian Airways dipanggil kembali ke Tanah Air Agustus 1950) dan RI-009 yang
memungkinkan Indonesian Airways menyinggahi semua lapangan udara di Burma. Baru
setelah pemberontakan berhasil diatasi pemerintah Burma, Indonesian Airways
diberi kesempatan melakukan penerbangan komersial biasa dan mendapat tempat
mendalam di hati rakyat Burma. Dalam kiprah penerbangan komersial di Burma
ersebut, sempat RI-001 berhasil menerobos barikade udara Belanda, terbang dari
Mingladon ke Blang Bintang, Aceh. Operasi penerbangan bantuan senjata, amunisi
dan peralatan komunikasi. 8 juni1948 tersebut langsung dipimpin Wiweko, dengan
Captain Pilot J.H. Maupin, Kopilot Kadet udara Boediarto Iskak, flight operator
Soemarno dan engineer Casselberry. Pendaratan malam hari menerobos blokade
udara Belanda di Blang Bintang dibantu lampu-lampu mobil yang dinyalakan pada
sisi kanan dan kiri landasan. Setelah mendarat RI-001 langsung disembunyikan di
bawah pohon karet dan segera barang yang di diturunkan. Berupa 150 senjata
laras panjang, enam senapan mesin buatan Inggris termasuk laras cadangannya,
sejumlah amunisi, peralatan radio komunikasi dan transmisi serta obat-obatan.
Begitu fajar menyingsing di ufuk timur, pesawat telah lepas landas kembali
menuju Mingladon Airport, Burma. Pesawat pemburu Belanda baru mengudara setelah
matahari mulai bersinar di pagi hari dan menghujani pelurunya di Pangkalan
Blang Bintang.
Sejarah
mencatat pada waktu Pemerintah RI tengah mempersiapkan delegasi ke Konferensi
Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda, Wiweko mengusulkan kepada Ir. Djuanda
melalui suratnya kepada KSAU Suryadarma dari Rangoon 25 Juli 1949, agar
delegasi Indonesia juga membela Indonesian Airways. Ditulis Wiweko, "...
yang perlu diperhatikan, Indonesian Airways harus mempunyai kemerdekaan
melakukan internasional dan internal flight atau penerbangan domestik."
Hal itu diusulkan sebab dia memperoleh informasi bahwa Djuanda hanya
memperjuangkan untuk internal flights. Hal ini mungkin karena ketidaktahuan
bahwa Indonesian Airways telah melakukan beberapa kali penerbangan
internasional. Diantaranya Rangoon-New Delhi-Rangoon dua kali.
Rangoon-Hongkong-Rangoon, termasuk untuk mengambil dua mesin cadangan pesawat.
Salah satu kententuan dalam Perjanjian KMB, disepakati perusahaan penerbangan
Belanda, KLM Interinsulair terus melaksanakan penerbangan sipil di Indonesia
dalam bentuk perusahaan patungan RIS (Republik Indonesia Serikat) dengan KLM
(Belanda). Disepakati pula bahwa seluruh personel manajemen berasal dari KLM,
suatu keputusan politik penerbangan yang bertentangan dengan konsep kedaulatan
udara yang diusulkan. Sebab diyakini bahwa perhubungan udara yang
diselenggarakan perusahaan patungan RIS-KLM tidak akan mampu dan bersedia memenuhi
kebutuhan angkutan udara di seluruh wilayah Indonesia yang sangat luas. Dari
sinilah lahir saran membentuk Dinas Angkutan Udara Militer (DAUM), sekaligus
menyiapkan suatu kemampuan agar sewaktu-waktu dapat mengambil alih
penyelenggaraaan perhubungan udara nasional.
Sejarah mencatat pula, perusahaan
patungan itu bernama N.V. Garuda Indonesian Airways yang akan mengambil operasi
penerbangan interinsulair dari KLM. Tanggal 28 Desember 1949, sehari setelah
pengakuan kedaulatan oleh Belanda atas Republik Indonesia, dua pesawat DC-3
Dakota bertolak dari Bandara Kemayoran menuju Yogyakarta. Salah satu pesawat
dengan registrasi PK-DPD berlogo "Garuda Indonesian Airways",
ditumpangi Presiden Soekarno dalam perjalanan pindah dari ibukota RI lama Yogyakarta
ke ibukota baru Jakarta pada hari itu. Bung Karno-lah yang memberi kata
"Garuda" pada nama perusahaan tersebut karena tahu sudah ada
Indonesian Airways. Meski sudah beroperasi sejak 28 Desember 1949, baru 31
Maret 1950 perusahaan penerbangan tersebut diresmikan sebagai Garuda
Indonesian Airways IW secara de jure sesuai pengumuman berita negara RIS
menurut pasal 38 Kitab udang-undang Perniagaan. Indonesian Airways sendiri
menurut catatan sejarah ditutup Maret 1950. Secara bertahap, seluruh awak
pesawat dan awak daratnya dialihkan ke DAUM. Pesawat RI-001
"Seulawah" yang terakhir meninggalkan Rangoon, tiba di Andir
(sekarang Husein Sastranegara), Bandung pada 2 Agustus 1950. Kepada Angkasa,
Wiweko Soepono mengomentari masalah hari lahirnya Garuda, menjelaskan, "Boleh
pilih 31 Maret 1950, yakni berdirinya Garuda Indonesian Airways sebagai warisan
penjajah Belanda, atau 26 Januari 1949, Indonesian Airways sebagai perusahaan
Indonesia murni, hasil perjuangan bangsa dan rakyat Indonesia, terbang perdana
Calcutta-Rangoon. Itulah penerbangan komersial pertama pesawat Republik
Indonesia."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar